Opini Publik: Vox Populi Vox Dei
Seorang guru honorer bernama Rerisa dipanggil oleh Inspektorat Provinsi Bengkulu usai pernyataannya viral ketika menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi X DPR RI. Dalam forum tersebut, Rerisa menangis saat mengungkapkan nasibnya yang hanya menerima upah Rp30 ribu per jam untuk 18 jam mengajar seminggu. Jika ditotal, penghasilannya kurang dari satu juta rupiah per bulan untuk masa pengabdian tujuh tahun sebagai guru honorer kategori R4 di SMKN 4 Kepahiang.
Pemanggilan ini dilakukan atas instruksi Wakil Gubernur Bengkulu, Ir Mian. Ia menilai pernyataan Rerisa perlu diklarifikasi. “Penghasilan Rp 30 ribu dikali 18 jam itu tidak fair. Sementara pemerintah provinsi membayar sebesar satu juta rupiah. Maka saya minta Kadisdikbud dan Inspektorat hari ini memanggil guru tersebut untuk dimintai klarifikasi,” tegas Mian di hadapan wartawan, Kamis (17/7/25).
Ironisnya, langkah memanggil guru honorer yang menangis di hadapan wakil rakyat justru mengirimkan pesan sebaliknya: pemerintah daerah gagal mendengar jeritan guru kecil, tapi sigap memeriksa suara sumbang.
Arogansi Birokrasi: Membungkam, Bukan Membenahi
Alih-alih merespons dengan empati dan solusi konkret, Wakil Gubernur Mian memilih jalur defensif: klarifikasi lewat Inspektorat. Ini menimbulkan kesan seolah suara kritis guru honorer wajib diperiksa, bukan didengar. Langkah ini juga punya dampak psikologis: menakut-nakuti guru honorer lain agar tak berani buka suara, apalagi sampai ke DPR RI.
Masalah gaji guru honorer bukan isu baru. Ini persoalan struktural yang bertahun-tahun menjadi beban kebijakan pemerintah daerah. Pernyataan “tidak fair” soal hitungan upah hanyalah pengakuan setengah hati. Sebab, substansi curhat Rerisa bukan cuma angka, melainkan keadilan dan kepastian status.
Lupa Esensi: Kenapa Masih Ada Guru Bergaji 1 Juta?
Pemanggilan Rerisa ke Inspektorat tidak menjawab pertanyaan dasar: kenapa masih ada guru yang digaji Rp 1 juta per bulan meski sudah mengabdi sebelas tahun? Bukankah pemerintah pusat berulang kali menjanjikan penghapusan tenaga honorer dan transisi ke PPPK atau ASN penuh? Faktanya, di Bengkulu, guru honorer tetap jadi tumpuan sekolah, tapi dengan hak yang minim.
Alih-alih duduk bersama guru dan mendengar langsung akar masalah, birokrasi justru sibuk mencari siapa yang salah, bukan bagaimana memperbaiki. Ini mencerminkan kegagalan introspeksi, sekaligus menunjukkan watak birokrasi yang anti kritik.
Solusi: Berani Membenahi, Bukan Membungkam
Jika Wakil Gubernur Mian benar-benar peduli, seharusnya ia:
✅ Menyelidiki kebijakan honorarium di Disdikbud dan pola penyalurannya.
✅ Mengevaluasi manajemen anggaran gaji guru honorer secara transparan.
✅ Mendorong rekrutmen PPPK atau ASN yang adil, terbuka, dan tepat sasaran.
✅ Menjamin perlindungan bagi guru honorer agar tidak takut bersuara soal nasib mereka.
Kasus Rerisa hanyalah satu contoh. Di balik satu suara menangis di DPR RI, ada ribuan guru honorer lain yang diam karena takut. Jika pemerintah daerah masih merasa terancam oleh suara rakyat kecil, lalu untuk siapa birokrasi ini bekerja?
Suara guru honorer adalah cermin. Jika pejabat hanya sibuk memanggil dan memeriksa, maka publik pun berhak bertanya: siapa yang sebenarnya perlu diperiksa,gurunya, atau kebijakannya?