Krisis Ekonomi Pengaruhi Kesehatan Mental dan Fisik Warga Kelas Menengah di Jaktim

Foto ilustrasi ekonomi kelas menengah
Foto ilustrasi ekonomi kelas menengah

Bengkulu, Neinews.Org – Sejumlah kalangan ekonomi mengakui kondisi kelas menengah di Indonesia saat ini tidak baik-baik saja. Bila kondisinya terus dibiarkan dan tak mendapat penanganan atau perhatian oleh pemerintah, bisa berujung pada krisis berupa revolusi.

Kondisi ekonomi yang kian sulit dapat berdampak pada kesehatan mental warga kelas menengah di Jakarta Timur. Salah seorang karyawan swasta di Duren Sawit yakni Judith (25, sering kali merasa stres karena kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya transportasi yang semakin melonjak. “Hidup dengan uang yang berkecukupan itu bisa mengurangi tekanan mental. Tapi kalau kekurangan, stres pasti meningkat,” tutur Judith saat dikonfirmasi, pada Minggu (18/8/2024). Tak hanya itu, terdapat juga warga Pulogadung bernama Riri (30) mengungkapkan, meskipun belum merasakan stres berlebihan akibat tekanan ekonomi, ia dan suami harus lebih berhati-hati dalam mengatur pengeluaran agar bisa tercukupi.

“Kami mencoba fleksibel dengan pengeluaran, misalnya memilih makan di warteg daripada masak sendiri yang lebih mahal,” ungkap Riri.

Selanjutnya Ikhsan (43), warga Duren Sawit, mengatakan bahwa setres karena semakin naiknya harga barang pokok, hal tersebut akibat tekanan ekonomi telah mempengaruhi kesehatannya secara fisik. “Stres pasti ada dan asam lambung sering naik,” ujar Ikhsan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tekanan ekonomi tidak hanya berdampak pada kondisi finansial, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental dan fisik terutama bagi warga kelas menengah.

Menanggapi permasalahan tersebut Riri berharap pemerintah dapat lebih serius menangani masalah ketahanan pangan dan jaminan kesehatan. “Menurut saya yang paling mendesak itu ketahanan pangan bersumber lokal dan jaminan kesehatan memadai,” tutur Riri. Tak hanya itu, Riri juga menyinggung bahwa pentingnya penyediaan lapangan kerja untuk mengurangi tingginya angka pengangguran. “Pemerintah pasti tahu banyak PHK (pemutusan hubungan kerja), tapi tidak ada intervensi yang berarti,” ungkap Riri.

 

Sumber : kompas.com