Dies Natalis ke-71 GMNI. Foto/Dok: Ist
NEINEWS, BENGKULU – Genap 71 tahun sudah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) berdiri. Sejak 23 Maret 1954, GMNI bukan hanya nama organisasi, tapi wajah perlawanan itu sendiri. Ia tumbuh sebagai ruang penggemblengan, tempat lahirnya kader-kader progresif revolusioner yang tak pernah letih menjaga bara ide dan semangat Pancasila di tengah pusaran zaman.
Memasuki usia ke-71, GMNI mengangkat tema “Bersatu Melawan Penjajahan Gaya Baru”. Sebuah tema yang bukan sekadar slogan, tetapi alarm keras atas realitas kontemporer: hadirnya penjajahan dalam bentuk baru—melalui teknologi, informasi, dan dominasi ekonomi global. Neo-kolonialisme dan imperialisme bukan lagi wacana masa lalu, ia nyata, dekat, dan menjajah dalam diam.
GMNI sebagai organisasi kader yang berpijak pada Marhaenisme Bung Karno, menolak tunduk pada sistem yang menindas. Kapitalisme global tak hanya merampas sumber daya, tapi juga mencengkeram cara berpikir dan arah hidup generasi muda. Maka, perlawanan bukan opsi, ia keharusan.
Ketua DPC GMNI Bengkulu, Julius Nainggolan, menegaskan bahwa Dies Natalis ke-71 ini menjadi momen konsolidasi ideologis dan organisasi.
“GMNI tetap memegang teguh cita-cita Bung Karno: Sosialisme Indonesia. Masyarakat adil dan makmur hanya bisa dicapai jika kaderisasi dijadikan tombak perjuangan. Di situlah kita menempa pemuda-pemudi progresif revolusioner,” tegas Julius dalam pidatonya.
Gerakan tak berhenti di pusat. Ia hidup di akar rumput. Dari komisariat hingga Dewan Pimpinan Pusat, semangat perlawanan harus sama panasnya. Di Bengkulu, DPC GMNI memastikan bahwa komisariat-komisariat menjadi dapur ideologis yang membakar semangat kader untuk terus berdiri di garis depan perjuangan.
GMNI bukan sedang merayakan usia. GMNI sedang merawat nyala. Sebab di tengah kabut zaman, hanya ide yang teguh dan barisan yang solid yang bisa menjaga arah.
Editor: Alfridho Ade Permana