Pemerintah Dinilai Abai Atas Ancaman Ekologis Hutan Lindung Bukit Sanggul

Kawasan Hutan Lindung Bukit Sanggul Kabupaten Seluma, Bengkulu. Foto/Dok: Ist

NEINEWS, BENGKULU – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bengkulu mengecam keras langkah pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang dinilai abai terhadap ancaman ekologis di Hutan Lindung Bukit Sanggul, Kabupaten Seluma, provinsi Bengkulu menyusul terbitnya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor SK.533/Menlhk/Setjen/PLA.2/5/2023 yang mengubah sebagian kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi.

Perubahan status ini membuka jalan bagi kegiatan tambang terbuka (open pit mining) oleh PT Energi Swa Dinamika Muda (ESDM), yang sebelumnya telah mengajukan adendum terhadap rencana tambang bawah tanah. GMNI menilai keputusan ini sebagai langkah mundur dalam komitmen menjaga lingkungan hidup dan konservasi alam.

Taufik Adianto, kader GMNI dari Fakultas Pertanian, menegaskan bahwa konversi kawasan hutan lindung akan mempercepat laju deforestasi, mengancam keanekaragaman hayati, dan meningkatkan risiko bencana alam.

“Pembukaan lahan di kawasan dengan topografi curam seperti Bukit Sanggul mempercepat erosi dan degradasi lahan. Ini bukan hanya ancaman ekologis, tapi juga ancaman bagi masa depan pertanian rakyat,” ujar Taufik dalam siaran pers Selasa, 22 April 2025.

Ia menambahkan bahwa hilangnya tutupan hutan akan melemahkan fungsi ekosistem dalam menjaga siklus hidrologi. Dampaknya, debit air tanah menurun, frekuensi banjir dan kekeringan meningkat, serta kualitas hidup masyarakat sekitar akan terganggu secara langsung.

Sementara itu, Julius Nainggolan, Ketua DPC GMNI Bengkulu, turut mengecam sikap Gubernur Bengkulu yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan.

“PT ESDM mendapat izin operasi produksi setelah perubahan status hutan, didukung oleh karpet merah Perda RTRW Provinsi Bengkulu No. 3 Tahun 2023. Kami menuntut keterbukaan informasi terkait AMDAL dan KLHS yang disusun Tim Terpadu Kementerian sebagaimana diatur dalam PP No. 23 Tahun 2021 Pasal 73,” tegas Julius.

GMNI Bengkulu mendesak Gubernur Bengkulu Helmi Hasan untuk tidak menerbitkan rekomendasi Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan (PPKH), serta menolak seluruh aktivitas pertambangan yang merusak kawasan hutan lindung. GMNI juga menyerukan pengembalian status Bukit Sanggul sebagai hutan lindung secara utuh.

Lebih jauh, GMNI menyoroti potensi pencemaran sungai akibat aktivitas tambang, terutama dari bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida. Sungai-sungai tersebut merupakan sumber air utama bagi masyarakat serta irigasi lahan pertanian.

“Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, tambang justru mengancam hak hidup rakyat, mempersempit akses terhadap sumber daya alam, dan memicu konflik sosial,” pungkas Julius.

GMNI menegaskan bahwa kebijakan pro-investasi tidak boleh mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan rakyat. Pemerintah daerah, khususnya Gubernur Bengkulu, diminta berpihak pada masa depan generasi dan kelestarian hutan Bukit Sanggul.

Editor: Alfridho Ade Permana