Neinews.org – Pemberlakuan sanksi ekonomi baru yang keras terhadap China diserukan oleh beberapa pakar Asia yang memandang kemerosotan ekonomi China membuat negara tersebut rentan terhadap tekanan untuk menghentikan Korea Utara dalam membangun dan mencuci uang untuk senjata nuklir dan rudal.
Namun, sejumlah analis mengklaim sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa sanksi baru yang diberlakukan terhadap China bisa menyebabkan negara tersebut kurang terpengaruh oleh upaya AS untuk menghentikan produksi senjata Korea Utara.
Joshua Stanton, seorang pengacara yang berkantor di Washington, D.C. dan terlibat dalam penyusunan Undang-Undang Sanksi dan Penegakan Kebijakan Tahun 2016, berpendapat bahwa Beijing mengkhawatirkan resesi yang panjang akan menyebabkan kerusuhan politik. Dampak kekhawatiran itu membuat Washington memiliki kontrol yang lebih besar terhadap Beijing. Padahal Amerika tidak memiliki pengaruh yang kuat di saat pertumbuhan ekonomi China kuat.
Dana Moneter Internasional (IMF) melaporkan pada bulan Januari lalu bahwa ekonomi China akan melambat, turun dari pertumbuhan 5,2% PDB pada tahun 2023 menjadi 4,6% pada tahun 2024, dan akan mengalami penurunan lagi menjadi 4,1% pada tahun 2025.
Masalah negara tersebut semakin kompleks dengan adanya kontraksi bisnis manufaktur selama empat bulan berturut-turut pada bulan Januari lalu dan meningkatnya utang pemerintah daerah dan pasar properti.
Melalui email yang dikirimkan kepada VOA pada hari Jumat (9/2) lalu, Stanton menyarankan Biden perlu meningkatkan tekanan terhadap pemerintah China yang tengah khawatir menghadapi resesi regional dan pabrik-pabrik pengalengan ataupun pabrik-pabrik yang mempekerjakan tenaga kerja Korea Utara.
Kantor berita Reuters melaporkan bahwa pabrik China telah mempekerjakan pekerja Korea Utara dan melabeli barang produksi mereka dengan label buatan China. Pada bulan Januari lalu, akibat gaji yang belum dibayarkan, sekitar 3.000 warga Korea Utara yang menjadi buruh ilegal di Tiongkok melakukan protes yang diwarnai aksi kekerasan.
Untuk mencegah Korea Utara mendukung program senjata dengan menghasilkan uang di luar negeri, Dewan Keamanan PBB pada tahun 2017 mengeluarkan resolusi yang meminta negara-negara untuk memulangkan semua pekerja Korea Utara paling lambat pada Desember 2019.
Stanton juga menyarankan Amerika Serikat perlu mengawasi dengan lebih ketat cabang-cabang bank lokal di kota-kota China yang berpotensi melakukan pencucian uang dengan Korea Utara. Tindakan ini perlu dilakukan mengingat China selalu mengingkari janjinya yang bersedia bekerja sama dengan AS selama AS tidak memberikan sanksi terhadap bank-bank milik mereka.
Dalam reaksi terhadap penguatan sanksi AS terhadap lembaga keuangan yang bekerja sama dengan militer Rusia, China kemudian memperketat peraturan untuk bank-banknya yang berhubungan dengan Rusia.
Pemerintahan Biden dianggap telah memberlakukan sanksi yang lemah terhadap Korea Utara, namun segera disangkal oleh Anthony Ruggiero, seorang peneliti senior di Foundation for Defense of Democracies. Menurutnya, pemerintahan Biden seharusnya menarget sumber pendapatan Korea Utara, juga bank, organisasi, dan individu Rusia dan China yang membantu Pyongyang menghindari sanksi.
Sementara, menurut pandangan David Asher, seorang peneliti senior di Hudson Institute, China sangat berperan penting bagi Korea Utara dalam memperoleh produk teknologi tinggi untuk program militer dan senjata pemusnah massal (WMD).
Sabtu (10/2) lalu, dalam sebuah email, Asher, pengawas gangguan perdagangan ilegal Korea Utara dan jaringan WMD di masa pemerintahan George W. Bush, memberitahukan ada sektor kriminal kuat di China, terutama di Makau dan Hong Kong, tempat para elit Korea Utara kerap melakukan pencucian uang yang salah satunya dilakukan melalui kejahatan dunia maya.
Di lain sisi, beberapa ahli lainnya mengingatkan untuk tidak melakukan sanksi terhadap China di saat ekonominya melambat dan saat AS meminta Beijing untuk menghentikan peluncuran rudal Korea Utara.